Mahalnya harga daging sapi membuat kekhawatiran yang memuncak
karena bertambahnya kemungkinan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk
mengakali hal ini. Kekhawatiran bertambah karena daging babi seringkali dipakai
dan dicampur dalam pembuatan bakso. Yang tentu saja membuat bakso yang
diproduksi menjadi haram sifatnya. Bahkan bila daging bakso tersebut berasal
dari sapi, harus dipastikan pula penyembelihannya sesuai syariah Islam atau
tidak. Bila tidak, statusnya pun menjadi haram.
Selain titik kritis kehalalan dari sumber daging yang
digunakan, ada beberapa titik kritis lainnya yang memungkinkan bakso itu
diragukan kehalalannya. Bakso selain dari daging sapi juga ditambahkan tepung tapioka,
garam, monosodium glutamate (MSG), sodium tripolyfospat (STTP), dan Titanium
dioksida (TIO2).
Tepung tapioka merupakan tepung yang berasal dari
singkong/cassava yang dapat
diproduksi baik secara enzimatis, ektraksi ataupun hidrolisis asam. Tetapi
tepung tapioka yang biasa beredar dan banyak digunakan di Indonesia diproduksi
dengan cara diekstraksi dengan tambahan air, sehingga tidak kritis secara
kehalalannya.
Monosodium glutamate (MSG) merupakan garam sodium
(natrium) dari asam glutamate. Bahan ini digunakan sebagai penegas rasa. Asam
glutamat secara komersial diproduksi melalui proses mikrobial dari bahan-bahan
lain sebagai aditif/penolong. Titik kritis MSG terletak pada media mikrobial, yaitu
media yang digunakan untuk mengembangbiakkan mikroorganisme yang berfungsi
memfermentasi bahan bakunya.
STTP merupakan emulsifier yang menyatukan antara minyak
dan air yang ada dalam baso sehingga bakso menjadi kempal, sedangkan TIO2
digunakan untuk membuat
bakso lebih putih (tidak terlalu hitam). STTP dan TIO2 merupakan bahan sintetik kimia dan
tent saja dalam penggunaannya dalam makanan harus yang FOOD GRADE. Keduanya yang merupakan sintetik kimia tidak kritis
kehalalannya. (nad)